Menyoal Passing Grade Dalam Seleksi Calon ASN

Jumat, 25 Juli 2025 | 14:28 WIB
Ilustrasi seleksi CPNS (KOMPAS/PRIYOMBODO) Ilustrasi seleksi CPNS

DI TENGAH derasnya arus reformasi birokrasi dan tuntutan pelayanan publik yang makin kompleks, kehadiran ASN yang profesional, kompeten, dan berintegritas bukan lagi sekadar harapan—melainkan keniscayaan.

Demi mewujudkan itu, seleksi ASN dengan sistem passing grade diperkenalkan. Ambang nilai minimal yang harus dicapai peserta untuk dinyatakan lulus.

Sekilas tampak logis. Standar dibuat agar yang lolos adalah mereka yang layak dan memenuhi syarat.

Namun, dalam praktiknya, sistem ini perlahan menjelma menjadi bom waktu yang siap meledak di jantung birokrasi negeri.

Jika tidak segera disikapi dengan cermat dan bijak, maka ia bisa jadi bumerang yang merusak tujuan besar reformasi birokrasi.

Tulisan ini mencoba menelusuri kenapa sistem passing grade bisa menjadi jebakan yang fatal dan apa saja solusi yang seharusnya segera dilakukan.

Passing grade adalah nilai ambang minimal yang ditentukan oleh pemerintah untuk menentukan kelulusan peserta seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil ( CPNS).

Baca juga: Bom Waktu Isu Kesetaraan PNS dan PPPK Dalam Birokrasi

Sistem ini dirancang agar hanya peserta yang memiliki kemampuan dasar tertentu—seperti intelegensi umum, wawasan kebangsaan dan karakter pribadi—yang bisa menjadi ASN.

Secara teori, ini adalah cara efektif untuk menjaring SDM unggul. Namun sayangnya, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu.

Sistem ini diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan konteks lokal, ketimpangan pendidikan, atau akses informasi di berbagai wilayah.

Coba bayangkan: seorang peserta dari daerah tertinggal harus bersaing dengan peserta dari kota besar yang sejak awal sudah memiliki fasilitas pendidikan dan bimbingan belajar yang mumpuni.

Akibatnya, banyak formasi ASN di daerah-daerah seperti wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (yang sering disebut daerah 3T) tetap kosong. Bukan karena tak ada peminat, melainkan karena tak satu pun peserta memenuhi nilai ambang batas.

Di titik inilah bom waktu mulai berdetak. Saat kebutuhan ASN di daerah tak terpenuhi karena sistem seleksi yang kaku dan seragam, maka pelayanan publik ikut terganggu.

Rumah sakit kekurangan tenaga medis, sekolah kekurangan guru dan kantor pelayanan masyarakat sepi pegawai.

Celakanya, ini terus berulang tiap tahun dan memperparah ketimpangan antarwilayah dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah sasaran

Mari kita lihat lebih dekat. Sistem passing grade lebih banyak menitikberatkan pada nilai Tes Kompetensi Dasar (TKD). Padahal, yang seharusnya lebih penting adalah kemampuan teknis atau pengalaman kerja yang nyata.

Ambil contoh: seorang bidan desa yang sudah puluhan tahun melayani masyarakat di pelosok dengan dedikasi tinggi harus gagal jadi ASN hanya karena nilai Tes Wawasan Kebangsaannya kurang dua poin. Padahal kinerjanya luar biasa, dan dia sangat dibutuhkan di lapangan.

Baca juga: Rangkap Jabatan Wakil Menteri dan Peningkatan Ketimpangan

Lalu, apa maknanya? Jika sistem seleksi tidak bisa menangkap kompetensi aktual dan kebutuhan spesifik lapangan, maka kita sedang menanam bom waktu dalam bentuk ASN yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat.

Ironisnya, banyak peserta yang lolos nilai, tapi tidak sesuai formasi, sehingga tak bisa diangkat. Negara pun kehilangan potensi SDM berkualitas hanya karena ketidaksesuaian administratif—bukan karena kualitas mereka rendah.

Ketika proses seleksi dianggap tidak adil dan terlalu kaku, maka generasi muda yang berkualitas mulai kehilangan minat untuk menjadi ASN. Mereka lebih memilih jalur profesional lain: dunia swasta, wirausaha atau bahkan karier internasional.

Alhasil, ASN kita bukan lagi diisi oleh mereka yang terbaik, melainkan oleh mereka yang sekadar bisa bertahan dan lolos ujian standar.

Di sisi lain, formasi yang kosong berdampak ganda. Pertama, pekerjaan instansi terganggu karena kekurangan pegawai.

Kedua, anggaran tetap terserap untuk operasional, termasuk jika seleksi ulang harus dilakukan. Ini jelas pemborosan uang negara.

Bahkan dalam beberapa kasus, kekosongan ini ditambal oleh tenaga honorer tanpa proses seleksi ketat. Bukannya solusi, ini malah membuka ruang bagi nepotisme dan inefisiensi.

Dan lebih jauh, jika publik mulai menganggap rekrutmen ASN sebagai proses formalitas belaka, maka profesi ASN tidak lagi dihormati. Ia kehilangan marwahnya.

ASN akan dilihat bukan sebagai pelayan publik pilihan, melainkan sekadar “mereka yang lulus ujian” —bukan mereka yang bisa bekerja dengan baik.

Reformasi seleksi ASN

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Berikut beberapa solusi konkret yang dapat menjadi titik balik sistem seleksi ASN kita.

Pertama, fleksibilitas passing grade berdasarkan kebutuhan daerah. Passing grade seharusnya tidak disamaratakan.

Pemerintah perlu menyesuaikannya dengan indeks pembangunan manusia (IPM) dan ketersediaan SDM di masing-masing daerah.

Baca juga: Joker dan Partai Politik

Di wilayah 3T, misalnya, Tes Kompetensi Teknis bisa diberi bobot lebih tinggi dibanding Tes Wawasan Kebangsaan, agar mencerminkan realitas kebutuhan di lapangan.

Kedua, integrasikan rekam jejak dan kinerja lapangan. Untuk formasi yang sudah ada tenaga honorer aktif, seleksi seharusnya menimbang evaluasi kinerja mereka selama bertugas.

Passing grade bukan satu-satunya acuan mutlak, tapi salah satu unsur dalam evaluasi yang komprehensif.

Ketiga, gunakan simulasi dan tes kompetensi nyata. Daripada soal pilihan ganda semata, peserta bisa diuji dengan metode yang lebih nyata.

Guru diuji dengan microteaching, teknisi diuji dengan praktik kerja langsung, dan tenaga administrasi diuji lewat studi kasus. Ini jauh lebih relevan dan memperlihatkan kesiapan kerja.

Keempat, evaluasi dan akuntabilitas setiap tahun. Passing grade tidak boleh menjadi angka mati yang terus digunakan tanpa evaluasi.

Harus ada audit terbuka, pelaporan berkala dan mekanisme umpan balik dari publik dan instansi. Dengan begitu, sistem bisa terus diperbarui sesuai kebutuhan zaman dan tantangan baru.

Satu hal yang pasti: jika sistem passing grade tidak segera direformasi, maka bom waktu dalam birokrasi ini akan meledak. Mungkin bukan hari ini, bukan bulan depan. Namun, lambat laun, efeknya akan merusak sendi pelayanan publik kita secara sistemik.

Dalam jangka pendek, sistem ini bisa jadi menyaring peserta yang unggul secara akademis. Dalam jangka panjang, ia menciptakan ketimpangan, pemborosan anggaran dan membuat generasi terbaik enggan masuk ke dunia birokrasi.

Pemerintah tak bisa lagi bersembunyi di balik dalih “standarisasi nasional” ketika kenyataan di lapangan menunjukkan ketimpangan yang makin mencolok.

ASN adalah pelayan rakyat dan pelayan rakyat seharusnya dipilih berdasarkan kebutuhan rakyat—bukan sekadar berdasarkan angka di kertas.

Reformasi birokrasi sejati tak bisa dimulai tanpa mereformasi sistem seleksinya terlebih dahulu. Ini bukan perkara teknis belaka, tapi soal masa depan pelayanan publik kita.

Sebab kalau tidak sekarang, pertanyaannya tinggal satu: kapan bom itu akan meledak?

Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar di artikel ini! *S&K berlaku
Komentar
Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar dibawah ini! *S&K berlaku
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.