PADA 5 Januari 2024, Presiden ke-7 Joko Widodo mengumumkan pembukaan 2,3 juta formasi untuk Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) Tahun Anggaran (TA) 2024.
Dengan jumlah tersebut, formasi CASN TA 2024 ini merupakan formasi paling besar selama 10 tahun terakhir (BKN, 2024).
Pada 22 Januari 2025, berselang satu tahun kemudian, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025.
Sebagai rezim pemerintahan yang menjanjikan keberlanjutan program dari pemerintahan sebelumnya, kedua kebijakan ini amat kontradiktif.
Pertanyaan paling sederhana, jika kondisi keuangan negara sedang tidak baik-baik saja dan negara ingin berhemat, mengapa pemerintahan Jokowi melakukan rekrutmen ASN dengan jumlah terbesar sepanjang sejarah?
Baca juga: Coretax dan Karut Marut Penerimaan Negara
Berdasarkan Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, selain pemenuhan penyusunan Analisis Jabatan (ANJAB) dan Analisis Beban Kerja (ABK) instansi, proses perencanaan kebutuhan ASN dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Jika dasar pertimbangan dalam kebijakan efisiensi anggaran berkaitan dengan kapasitas fiskal yang menyempit dan kondisi keuangan negara yang tidak memadai dalam mendanai program pemerintah, semestinya hal ini sudah dapat dibaca dan dikaji oleh pemerintahan sebelumnya sejak jauh-jauh hari.
Pemerintah semestinya tidak perlu melakukan pengadaan ASN dengan jumlah fantastis sehingga dapat menekan pengeluaran negara serta tidak membebani jalannya pemerintahan selanjutnya.
Wajar akhirnya muncul asumsi publik bahwa rekrutmen besar-besaran ini memiliki muatan politis sebagai program populis pemerintah karena dilakukan menjelang agenda Pemilu 2024 dan memasuki periode terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi.
Asumsi ini menguat kemudian dengan langkah Presiden Jokowi yang tampil di publik secara langsung untuk mengumumkan kebijakan pengadaan ASN, sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penambahan 2,3 juta ASN baru tentu akan berdampak signifikan terhadap kenaikan belanja pegawai dalam APBN dan APBD.
Meskipun belanja pegawai tidak termasuk dalam komponen efisiensi anggaran, peningkatan belanja pegawai dalam jumlah besar akan semakin mempersempit ruang dan membebani alokasi penggunaan anggaran terhadap program prioritas di berbagai instansi pemerintah.
Gerak berbagai kementerian/lembaga (K/L) akan semakin terbatas dalam memberikan pelayanan publik yang ideal dan tidak leluasa dalam menyelenggarakan program pemerintah yang berdampak langsung kepada masyarakat, seperti yang sudah ramai terjadi saat ini mengenai kebijakan pemangkasan anggaran pada sektor pendidikan, penegakan HAM, pencegahan dan penanggulangan bencana alam, dan seterusnya.
Baca juga: Bayar Bayar Bayar: Suara yang Dibungkam, Masih Adakah Ruang Berekspresi?
Perekrutan ASN baru semestinya dilakukan secara bertahap, bukan tiba-tiba diselenggarakan dengan membuka formasi “jumbo”, sehingga tidak terlalu membebani anggaran negara.
Pemerintah dapat mengambil pendekatan inkremental dengan melakukan penguatan reformasi birokrasi dalam rangka penguatan sumber daya manusia ASN saat ini seperti berfokus pada meningkatkan kompetensi, kualifikasi dan kinerja ASN.
Beberapa opsi kebijakan yang dapat diambil adalah dengan memastikan implementasi manajemen talenta setiap K/L sudah berjalan dengan baik.
Selain itu, memperkuat sistem penilaian kinerja pegawai yang objektif dan akuntabel sehingga mengatasi permasalahan overstaffing dan understaffing di instansi pemerintah.
Satu persoalan besar lainnya adalah mengenai kebijakan penyelesaian tenaga non-ASN (honorer).
Dari 2,3 juta formasi CASN yang dibuka, 1,6 juta formasi tersebut terdiri dari pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pada awalnya, konsep pengadaan PPPK merupakan terobosan pemerintah dalam merekrut tenaga profesional kompeten dari luar instansi pemerintah dan kebijakan jangka pendek dalam mengakomodasi guru-guru honorer.
Namun dalam perjalanannya, PPPK justru sepenuhnya menjadi wadah untuk menampung tenaga honorer di seluruh instansi pemerintah.
Pemerintah tampak tidak memiliki keberanian untuk melakukan rekrutmen yang selektif dan mengambil kebijakan untuk membatasi kuota formasi dalam penerimaan PPPK, meskipun terdapat tantangan ekonomi negara yang berat.
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang telah lolos seleksi sepertinya akan menjadi “korban tidak berdosa” dari ketidaksinkronan kebijakan antara pemerintahan sebelumnya dengan pemerintahan saat ini.
Dampak langsung yang akan dialami oleh para CPNS baru adalah mereka mungkin tidak akan mendapatkan fasilitas penunjang dasar dalam bekerja seperti PC/laptop.
Atau lebih parahnya seperti meja dan kursi kerja karena terjadi pemangkasan maupun penundaan pengadaan barang sebagaimana tercantum dalam diktum ketiga dari Inpres 1 Tahun 2025 yang menyebutkan bahwa identifikasi rencana anggaran meliputi belanja operasional dan non operasional.
Baca juga: Ironi Danantara: Tak Tersentuh BPK dan KPK, Mantan Presiden Jadi Pengawas
Satu adagium populer dalam ilmu manajemen, “Gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”, bagi instansi pemerintah yang tidak cermat dalam melakukan perencanaan anggaran serta terdampak cukup parah akibat efisiensi ini, bukan tidak mungkin akan terjadi penundaan pengangkatan CPNS TA 2024 karena instansi tersebut tidak mampu lagi memenuhi pembiayaan gaji dan fasilitas bagi pegawai baru.
Kemudian perihal pengurangan program-program pemerintah secara signifikan di berbagai instansi karena terjadinya pemotongan anggaran di mana-mana.
Tentunya hal ini akan berdampak terhadap berkurangnya beban kerja, tugas dan indikator kinerja yang dimiliki oleh pegawai.
Jika beban kerja berkurang, kemudian seluruh pekerjaan bisa diselesaikan oleh pegawai yang sudah ada, untuk apa ada penambahan pegawai baru?
Euforia konten jedag-jedug dari CPNS yang sudah lolos kiranya tidak akan bertahan lama, rezim efisiensi membuat mereka sedang harap-harap cemas menantikan kejelasan kapan mereka akan mulai bekerja sebagai CPNS, ditambah momentum menjelang Idul Fitri.
Apalagi jika CPNS yang diterima lolos di daerah yang bukan domisilinya, membiayai keberangkatan dengan merogoh kocek sendiri dan kebingungan kapan harus mengajukan permohonan pengunduran diri di perusahaan sebelumnya.
Harapan dan rencana indah bekerja sebagai ASN harus pupus sementara dengan realitas menakutkan saat ini yang bernama, “efisiensi anggaran”.