Optimalisasi Formasi CPNS: Efisien secara Angka, Tak Manusiawi secara Makna

Kamis, 24 April 2025 | 10:07 WIB
Beredar narasi penundaan penetapan NIP/NI dan pengangkatan CPNS/PPPK 2024 disebut untuk THR ASN. (Shutterstock) Beredar narasi penundaan penetapan NIP/NI dan pengangkatan CPNS/PPPK 2024 disebut untuk THR ASN.

BELUM lama ini, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh, mengungkapkan bahwa sebanyak 1.967 orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2024 mengundurkan diri, meskipun telah dinyatakan lolos seleksi.

Mereka adalah bagian dari sekitar 16.000 peserta yang lulus melalui skema "optimalisasi formasi", yakni mekanisme pengisian formasi kosong dengan peserta yang gagal lolos di instansi tujuannya, tapi memenuhi kualifikasi formasi di instansi lain yang masih kosong.

Misalnya, seorang peserta yang melamar sebagai dosen di Universitas Indonesia dan berada di peringkat ketiga (sementara formasi hanya dua), dapat secara sistem langsung dipindahkan ke Universitas Udayana karena di sana tersedia formasi serupa, tetapi tidak memiliki pelamar.

Skema ini secara administratif dianggap berhasil karena mampu mengisi sekitar 88 persen formasi yang sebelumnya kosong.

Namun, fakta bahwa hampir dua ribu orang memilih mundur setelah lulus justru menyimpan ironi besar yang tidak boleh dianggap sekadar "kerugian pribadi peserta".

Baca juga: Kepala BKN Sebut 1.967 CPNS 2024 Mundur, Ini Penyebabnya

Skema optimalisasi memang tampak rasional di atas kertas. Ia menjadi solusi efisien untuk mengatasi kekosongan posisi strategis di berbagai instansi.

Namun bila dilihat lebih dalam, mekanisme ini berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip hukum administrasi yang baik dan hak asasi manusia, serta gagal membaca konteks budaya kerja di Indonesia.

Dari sudut pandang hukum administrasi negara, keputusan administratif yang baik haruslah memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kecermatan, keadilan, dan kepastian hukum.

Pertanyaannya: apakah para peserta CPNS yang terkena skema optimalisasi telah diberikan kesempatan yang adil untuk memberikan persetujuan aktif terhadap penempatan barunya?

Ataukah mereka sekadar ditempatkan secara sepihak oleh sistem yang tidak memberi ruang negosiasi?

Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka keputusan tersebut cacat dari segi substantif meskipun sah secara prosedural.

Dalam dunia hukum publik, persetujuan tanpa kehendak yang bebas bukanlah persetujuan yang valid.

Lebih jauh lagi, kita masuk ke wilayah hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Hal ini diperkuat pula oleh prinsip-prinsip internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin hak atas pekerjaan yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, dan pilihan pekerjaan yang bebas.

Skema optimalisasi, ketika dilakukan tanpa pelibatan aktif peserta, bisa melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri.

Baca juga: 700 CPNS Dosen Mundur: Refleksi Strategi Manajemen Talenta Nasional

CPNS bukanlah objek administratif semata, melainkan manusia yang memiliki preferensi, kebutuhan keluarga, batas adaptasi sosial, serta keterikatan lokal.

Bila seorang peserta dari Aceh tiba-tiba ditempatkan di Nusa Tenggara Timur tanpa opsi klarifikasi atau kompensasi adaptasi, maka penempatan tersebut bukan lagi perwujudan kerja layak, melainkan bentuk pemaksaan struktural yang dibungkus dalam efisiensi birokratis.

Analisis ini akan menjadi semakin lengkap jika kita menyertakan sudut pandang antropologi, yang menekankan bahwa pekerjaan tidak semata-mata dimaknai sebagai alat produksi atau pencari nafkah, tetapi juga bagian dari struktur identitas sosial dan budaya.

Dalam banyak komunitas Indonesia, keterikatan terhadap keluarga besar, adat istiadat, dan jaringan sosial lokal menjadi elemen penting dalam kehidupan sehari-hari.

Pemindahan kerja yang tidak memperhatikan dimensi budaya ini bisa memunculkan alienasi, keterasingan sosial, bahkan menurunkan motivasi kerja dalam jangka panjang.

Dalam budaya Jawa, misalnya, prinsip "rukun" atau keharmonisan sosial sangat dijunjung tinggi.

Demikian pula dalam komunitas Minang yang memiliki sistem matrilineal dan nilai kekerabatan yang kuat, keputusan untuk merantau bukanlah perkara individu semata, melainkan konsensus keluarga.

Maka ketika penempatan dilakukan tanpa sensitivitas terhadap nilai-nilai ini, negara secara tidak sadar sedang merusak tenunan sosial yang selama ini menopang stabilitas masyarakat.

Kita tidak sedang menolak skema optimalisasi itu sendiri. Dalam prinsip kebijakan publik, efisiensi adalah salah satu parameter penting. 

Namun, efisiensi tidak boleh mengorbankan dimensi humanistik dan keadilan prosedural. Pemerintah, khususnya BKN, perlu mengembangkan model optimalisasi yang tidak hanya otomatisasi sistem, tetapi juga memberikan ruang klarifikasi, negosiasi, bahkan keberatan.

Baca juga: Student Loan: Solusi atau Lepas Tangan Negara?

Perlu ada komunikasi terbuka, pendampingan adaptasi, dan kebijakan insentif atau kompensasi bagi mereka yang bersedia ditempatkan di daerah yang sangat jauh dari asalnya.

Negara juga wajib memperlakukan peserta CPNS sebagai warga negara yang memiliki martabat, bukan sekadar pengisi slot kosong di lembaran Excel perencanaan birokrasi.

Fenomena mundurnya hampir dua ribu CPNS ini seharusnya menjadi peringatan bahwa dalam kebijakan publik, angka keberhasilan administratif tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran.

Kita perlu mengukur keberhasilan dengan parameter yang lebih menyentuh realitas manusiawi: apakah mereka merasa dihargai? Apakah mereka punya kendali atas nasibnya?

Apakah mereka diberikan perlakuan yang adil, baik secara hukum, sosial, maupun budaya?

Jika jawabannya tidak, maka kebijakan ini, seberhasil apapun secara teknis, tetap cacat secara etik dan berpotensi melahirkan ketimpangan yang lebih dalam di masa depan.

Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar di artikel ini! *S&K berlaku
Komentar
Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar dibawah ini! *S&K berlaku
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.