DI TENGAH derasnya arus reformasi birokrasi dan tuntutan pelayanan publik yang makin kompleks, kehadiran ASN yang profesional, kompeten, dan berintegritas bukan lagi sekadar harapan—melainkan keniscayaan.
Demi mewujudkan itu, seleksi ASN dengan sistem passing grade diperkenalkan. Ambang nilai minimal yang harus dicapai peserta untuk dinyatakan lulus.
Sekilas tampak logis. Standar dibuat agar yang lolos adalah mereka yang layak dan memenuhi syarat.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini perlahan menjelma menjadi bom waktu yang siap meledak di jantung birokrasi negeri.
Jika tidak segera disikapi dengan cermat dan bijak, maka ia bisa jadi bumerang yang merusak tujuan besar reformasi birokrasi.
Tulisan ini mencoba menelusuri kenapa sistem passing grade bisa menjadi jebakan yang fatal dan apa saja solusi yang seharusnya segera dilakukan.
Passing grade adalah nilai ambang minimal yang ditentukan oleh pemerintah untuk menentukan kelulusan peserta seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil ( CPNS).
Baca juga: Bom Waktu Isu Kesetaraan PNS dan PPPK Dalam Birokrasi
Sistem ini dirancang agar hanya peserta yang memiliki kemampuan dasar tertentu—seperti intelegensi umum, wawasan kebangsaan dan karakter pribadi—yang bisa menjadi ASN.
Secara teori, ini adalah cara efektif untuk menjaring SDM unggul. Namun sayangnya, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu.
Sistem ini diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan konteks lokal, ketimpangan pendidikan, atau akses informasi di berbagai wilayah.
Coba bayangkan: seorang peserta dari daerah tertinggal harus bersaing dengan peserta dari kota besar yang sejak awal sudah memiliki fasilitas pendidikan dan bimbingan belajar yang mumpuni.