Passing grade bukan satu-satunya acuan mutlak, tapi salah satu unsur dalam evaluasi yang komprehensif.
Ketiga, gunakan simulasi dan tes kompetensi nyata. Daripada soal pilihan ganda semata, peserta bisa diuji dengan metode yang lebih nyata.
Guru diuji dengan microteaching, teknisi diuji dengan praktik kerja langsung, dan tenaga administrasi diuji lewat studi kasus. Ini jauh lebih relevan dan memperlihatkan kesiapan kerja.
Keempat, evaluasi dan akuntabilitas setiap tahun. Passing grade tidak boleh menjadi angka mati yang terus digunakan tanpa evaluasi.
Harus ada audit terbuka, pelaporan berkala dan mekanisme umpan balik dari publik dan instansi. Dengan begitu, sistem bisa terus diperbarui sesuai kebutuhan zaman dan tantangan baru.
Satu hal yang pasti: jika sistem passing grade tidak segera direformasi, maka bom waktu dalam birokrasi ini akan meledak. Mungkin bukan hari ini, bukan bulan depan. Namun, lambat laun, efeknya akan merusak sendi pelayanan publik kita secara sistemik.
Dalam jangka pendek, sistem ini bisa jadi menyaring peserta yang unggul secara akademis. Dalam jangka panjang, ia menciptakan ketimpangan, pemborosan anggaran dan membuat generasi terbaik enggan masuk ke dunia birokrasi.
Pemerintah tak bisa lagi bersembunyi di balik dalih “standarisasi nasional” ketika kenyataan di lapangan menunjukkan ketimpangan yang makin mencolok.
ASN adalah pelayan rakyat dan pelayan rakyat seharusnya dipilih berdasarkan kebutuhan rakyat—bukan sekadar berdasarkan angka di kertas.
Reformasi birokrasi sejati tak bisa dimulai tanpa mereformasi sistem seleksinya terlebih dahulu. Ini bukan perkara teknis belaka, tapi soal masa depan pelayanan publik kita.
Sebab kalau tidak sekarang, pertanyaannya tinggal satu: kapan bom itu akan meledak?