Akibatnya, banyak formasi ASN di daerah-daerah seperti wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (yang sering disebut daerah 3T) tetap kosong. Bukan karena tak ada peminat, melainkan karena tak satu pun peserta memenuhi nilai ambang batas.
Di titik inilah bom waktu mulai berdetak. Saat kebutuhan ASN di daerah tak terpenuhi karena sistem seleksi yang kaku dan seragam, maka pelayanan publik ikut terganggu.
Rumah sakit kekurangan tenaga medis, sekolah kekurangan guru dan kantor pelayanan masyarakat sepi pegawai.
Celakanya, ini terus berulang tiap tahun dan memperparah ketimpangan antarwilayah dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mari kita lihat lebih dekat. Sistem passing grade lebih banyak menitikberatkan pada nilai Tes Kompetensi Dasar (TKD). Padahal, yang seharusnya lebih penting adalah kemampuan teknis atau pengalaman kerja yang nyata.
Ambil contoh: seorang bidan desa yang sudah puluhan tahun melayani masyarakat di pelosok dengan dedikasi tinggi harus gagal jadi ASN hanya karena nilai Tes Wawasan Kebangsaannya kurang dua poin. Padahal kinerjanya luar biasa, dan dia sangat dibutuhkan di lapangan.
Baca juga: Rangkap Jabatan Wakil Menteri dan Peningkatan Ketimpangan
Lalu, apa maknanya? Jika sistem seleksi tidak bisa menangkap kompetensi aktual dan kebutuhan spesifik lapangan, maka kita sedang menanam bom waktu dalam bentuk ASN yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Ironisnya, banyak peserta yang lolos nilai, tapi tidak sesuai formasi, sehingga tak bisa diangkat. Negara pun kehilangan potensi SDM berkualitas hanya karena ketidaksesuaian administratif—bukan karena kualitas mereka rendah.
Ketika proses seleksi dianggap tidak adil dan terlalu kaku, maka generasi muda yang berkualitas mulai kehilangan minat untuk menjadi ASN. Mereka lebih memilih jalur profesional lain: dunia swasta, wirausaha atau bahkan karier internasional.
Alhasil, ASN kita bukan lagi diisi oleh mereka yang terbaik, melainkan oleh mereka yang sekadar bisa bertahan dan lolos ujian standar.