Di sisi lain, formasi yang kosong berdampak ganda. Pertama, pekerjaan instansi terganggu karena kekurangan pegawai.
Kedua, anggaran tetap terserap untuk operasional, termasuk jika seleksi ulang harus dilakukan. Ini jelas pemborosan uang negara.
Bahkan dalam beberapa kasus, kekosongan ini ditambal oleh tenaga honorer tanpa proses seleksi ketat. Bukannya solusi, ini malah membuka ruang bagi nepotisme dan inefisiensi.
Dan lebih jauh, jika publik mulai menganggap rekrutmen ASN sebagai proses formalitas belaka, maka profesi ASN tidak lagi dihormati. Ia kehilangan marwahnya.
ASN akan dilihat bukan sebagai pelayan publik pilihan, melainkan sekadar “mereka yang lulus ujian” —bukan mereka yang bisa bekerja dengan baik.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Berikut beberapa solusi konkret yang dapat menjadi titik balik sistem seleksi ASN kita.
Pertama, fleksibilitas passing grade berdasarkan kebutuhan daerah. Passing grade seharusnya tidak disamaratakan.
Pemerintah perlu menyesuaikannya dengan indeks pembangunan manusia (IPM) dan ketersediaan SDM di masing-masing daerah.
Baca juga: Joker dan Partai Politik
Di wilayah 3T, misalnya, Tes Kompetensi Teknis bisa diberi bobot lebih tinggi dibanding Tes Wawasan Kebangsaan, agar mencerminkan realitas kebutuhan di lapangan.
Kedua, integrasikan rekam jejak dan kinerja lapangan. Untuk formasi yang sudah ada tenaga honorer aktif, seleksi seharusnya menimbang evaluasi kinerja mereka selama bertugas.