Dalam dunia hukum publik, persetujuan tanpa kehendak yang bebas bukanlah persetujuan yang valid.
Lebih jauh lagi, kita masuk ke wilayah hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hal ini diperkuat pula oleh prinsip-prinsip internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin hak atas pekerjaan yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, dan pilihan pekerjaan yang bebas.
Skema optimalisasi, ketika dilakukan tanpa pelibatan aktif peserta, bisa melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri.
Baca juga: 700 CPNS Dosen Mundur: Refleksi Strategi Manajemen Talenta Nasional
CPNS bukanlah objek administratif semata, melainkan manusia yang memiliki preferensi, kebutuhan keluarga, batas adaptasi sosial, serta keterikatan lokal.
Bila seorang peserta dari Aceh tiba-tiba ditempatkan di Nusa Tenggara Timur tanpa opsi klarifikasi atau kompensasi adaptasi, maka penempatan tersebut bukan lagi perwujudan kerja layak, melainkan bentuk pemaksaan struktural yang dibungkus dalam efisiensi birokratis.
Analisis ini akan menjadi semakin lengkap jika kita menyertakan sudut pandang antropologi, yang menekankan bahwa pekerjaan tidak semata-mata dimaknai sebagai alat produksi atau pencari nafkah, tetapi juga bagian dari struktur identitas sosial dan budaya.
Dalam banyak komunitas Indonesia, keterikatan terhadap keluarga besar, adat istiadat, dan jaringan sosial lokal menjadi elemen penting dalam kehidupan sehari-hari.
Pemindahan kerja yang tidak memperhatikan dimensi budaya ini bisa memunculkan alienasi, keterasingan sosial, bahkan menurunkan motivasi kerja dalam jangka panjang.
Dalam budaya Jawa, misalnya, prinsip "rukun" atau keharmonisan sosial sangat dijunjung tinggi.