Demikian pula dalam komunitas Minang yang memiliki sistem matrilineal dan nilai kekerabatan yang kuat, keputusan untuk merantau bukanlah perkara individu semata, melainkan konsensus keluarga.
Maka ketika penempatan dilakukan tanpa sensitivitas terhadap nilai-nilai ini, negara secara tidak sadar sedang merusak tenunan sosial yang selama ini menopang stabilitas masyarakat.
Kita tidak sedang menolak skema optimalisasi itu sendiri. Dalam prinsip kebijakan publik, efisiensi adalah salah satu parameter penting.
Namun, efisiensi tidak boleh mengorbankan dimensi humanistik dan keadilan prosedural. Pemerintah, khususnya BKN, perlu mengembangkan model optimalisasi yang tidak hanya otomatisasi sistem, tetapi juga memberikan ruang klarifikasi, negosiasi, bahkan keberatan.
Baca juga: Student Loan: Solusi atau Lepas Tangan Negara?
Perlu ada komunikasi terbuka, pendampingan adaptasi, dan kebijakan insentif atau kompensasi bagi mereka yang bersedia ditempatkan di daerah yang sangat jauh dari asalnya.
Negara juga wajib memperlakukan peserta CPNS sebagai warga negara yang memiliki martabat, bukan sekadar pengisi slot kosong di lembaran Excel perencanaan birokrasi.
Fenomena mundurnya hampir dua ribu CPNS ini seharusnya menjadi peringatan bahwa dalam kebijakan publik, angka keberhasilan administratif tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran.
Kita perlu mengukur keberhasilan dengan parameter yang lebih menyentuh realitas manusiawi: apakah mereka merasa dihargai? Apakah mereka punya kendali atas nasibnya?
Apakah mereka diberikan perlakuan yang adil, baik secara hukum, sosial, maupun budaya?
Jika jawabannya tidak, maka kebijakan ini, seberhasil apapun secara teknis, tetap cacat secara etik dan berpotensi melahirkan ketimpangan yang lebih dalam di masa depan.