Meskipun belanja pegawai tidak termasuk dalam komponen efisiensi anggaran, peningkatan belanja pegawai dalam jumlah besar akan semakin mempersempit ruang dan membebani alokasi penggunaan anggaran terhadap program prioritas di berbagai instansi pemerintah.
Gerak berbagai kementerian/lembaga (K/L) akan semakin terbatas dalam memberikan pelayanan publik yang ideal dan tidak leluasa dalam menyelenggarakan program pemerintah yang berdampak langsung kepada masyarakat, seperti yang sudah ramai terjadi saat ini mengenai kebijakan pemangkasan anggaran pada sektor pendidikan, penegakan HAM, pencegahan dan penanggulangan bencana alam, dan seterusnya.
Baca juga: Bayar Bayar Bayar: Suara yang Dibungkam, Masih Adakah Ruang Berekspresi?
Perekrutan ASN baru semestinya dilakukan secara bertahap, bukan tiba-tiba diselenggarakan dengan membuka formasi “jumbo”, sehingga tidak terlalu membebani anggaran negara.
Pemerintah dapat mengambil pendekatan inkremental dengan melakukan penguatan reformasi birokrasi dalam rangka penguatan sumber daya manusia ASN saat ini seperti berfokus pada meningkatkan kompetensi, kualifikasi dan kinerja ASN.
Beberapa opsi kebijakan yang dapat diambil adalah dengan memastikan implementasi manajemen talenta setiap K/L sudah berjalan dengan baik.
Selain itu, memperkuat sistem penilaian kinerja pegawai yang objektif dan akuntabel sehingga mengatasi permasalahan overstaffing dan understaffing di instansi pemerintah.
Satu persoalan besar lainnya adalah mengenai kebijakan penyelesaian tenaga non-ASN (honorer).
Dari 2,3 juta formasi CASN yang dibuka, 1,6 juta formasi tersebut terdiri dari pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pada awalnya, konsep pengadaan PPPK merupakan terobosan pemerintah dalam merekrut tenaga profesional kompeten dari luar instansi pemerintah dan kebijakan jangka pendek dalam mengakomodasi guru-guru honorer.
Namun dalam perjalanannya, PPPK justru sepenuhnya menjadi wadah untuk menampung tenaga honorer di seluruh instansi pemerintah.