DI MEDIA sosial, masih banyak netizen yang kerap menghakimi para peserta CPNS yang telah dinyatakan lulus dan memilih mengundurkan diri.
Komentarnya beragam, mulai dari dianggap tidak bersyukur di saat banyak orang butuh pekerjaan, dinilai tidak berkomitmen karena seharusnya mengetahui dari awal bahwa ASN siap ditempatkan dimana saja dan penghasilannya tidak seberapa, serta dipandang tidak memahami nilai “pengabdian” menjadi seorang ASN.
Berdasarkan Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengadaan ASN, kebijakan instansi mengenai pemilihan lokasi formasi atau unit kerja terbagi menjadi dua.
Pertama, sistem pengelompokkan formasi. Misalnya, ambil contoh dari instansi Bawaslu yang masuk kategori lima besar peserta paling banyak mundur.
Tersedia formasi analis hukum yang tersebar di seluruh provinsi. Kemudian, Bawaslu melakukan pengelompokkan formasi dalam sistem seleksi, sehingga pelamar hanya bisa memilih jabatan analis hukum, tanpa bisa memilih lokasi formasi.
Kedua adalah tidak ada pengelompokkan formasi (mirip seperti sistem zonasi), sehingga pelamar bisa memilih jabatan analis hukum di unit kerja secara spesifik, misalnya, analis hukum Provinsi Jawa Timur.
Artinya, dari dua pilihan kondisi ini, ada tipe pelamar yang dari awal sudah siap ditempatkan di mana saja dan ada pelamar yang mengikuti seleksi CPNS dengan niat bekerja di daerah domisili. Tentunya hal ini adalah hak masing-masing dari setiap individu.
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Kepala BKN dalam RDP dengan Komisi II DPR RI (22/4/2025), faktanya para peserta CPNS yang mundur didominasi oleh peserta yang lulus karena hasil kebijakan optimalisasi.
Baca juga: Optimalisasi Formasi CPNS: Efisien secara Angka, Tak Manusiawi secara Makna
Bagaimana sistem ini bekerja?
Secara singkat, mekanisme optimalisasi mengolah kembali peserta yang sebelumnya tidak lulus (dengan kategori nilai tertinggi setelah peserta yang lulus pemeringkatan), kemudian menempatkannya ke unit kerja lain yang belum terisi ketersediaan formasinya (dengan syarat jabatan yang dilamar sama).
Permasalahannya, mayoritas unit kerja yang tidak terisi ketersediaan formasinya adalah daerah-daerah 3T. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang masih terjadi antardaerah.