Jangan lagi membungkus ketidakcakapan menyediakan ekosistem kerja yang berkualitas dan memenuhi kesejahteraan pegawai dengan narasi pengabdian.
Kekosongan formasi lowongan jabatan menimbulkan kerugian, baik secara finansial dan kinerja lembaga. Proses seleksi yang panjang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, serta butuh waktu lama untuk bisa mengisi formasi tersebut.
Setidaknya ada empat kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, baik yang sifatnya preventif dan kuratif.
Pertama, penetapan formasi kebutuhan khusus putra/putri papua dan putra/putri daerah tertinggal.
Kedua, penyesuaian nilai ambang batas (passing grade) Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) bagi peserta dengan formasi kebutuhan khusus.
Ketiga, sistem optimalisasi sebetulnya adalah intervensi kebijakan yang mampu mengurangi kekosongan formasi. Hal ini terbukti sebagaimana disampaikan oleh Kepala BKN bahwa kebijakan optimalisasi berhasil mengisi 88 persen formasi yang tidak terisi.
Keempat, pemberian sanksi bagi peserta yang mundur. Hal ini tertuang dalam Permenpan Nomor 6 Tahun 2024, bahwa peserta yang lulus tahap akhir seleksi kemudian mengundurkan diri dikenai sanksi tidak boleh melamar pada penerimaan ASN untuk 2 tahun anggaran pengadaan Pegawai ASN berikutnya.
Fenomena mundurnya CPNS yang selalu berlangsung setiap periode seleksi tidak dapat dipandang secara administratif saja.
Persoalan ini penting karena menyangkut nasib para pencari kerja yang ingin meningkatkan taraf hidup dan pentingnya pemerataan birokrasi yang berkualitas di seluruh Indonesia.
Maka dari itu, evaluasi berkelanjutan dengan penguatan kebijakan yang sudah ada harus dilakukan.